Tidak Bisakah Aku?

Ketakutanku untuk membuka pintu masih menguasai pikiranku. Bagaimana sebuah bayangan  adegan perpisahan atau aku ditinggalkan yang entah mengapa terus menerus muncul saat aku baru saja hendak meraih gagang pintu. Sejujurnya, aku tak ingin jatuh dan terluka sendirian lagi dan lagi. Sudah terlalu banyak luka yang selalu aku obati sendiri dan entah mengapa tak ada satupun luka yang terasa membaik biarpun hanya sedikit. Semuanya masih terasa seakan luka itu baru saja muncul kemarin atau bahkan baru saja terjadi beberapa saat yang lalu. Hingga tak jarang saat aku sudah tak tahu harus mengobatinya dengan cara yang seperti apa lagi, aku mengobati luka yang telah bersarang dengan luka lain yang terasa lebih sakit, supaya aku dapat melupakan seperti apa rasanya luka yang telah lama itu.

Tidak bisakah aku merasakan bahagia itu walaupun hanya untuk sesaat saja?
Setidaknya, sampai satu dari sekian banyak luka yang ku punya menjadi hilang tanpa bekas.

Tidak bisakah aku melihat orang lain yang rela jatuh dan memiliki lukanya lebih dulu dibandingkan aku?
Setidaknya, biar aku merasakan bagaimana indahnya diperjuangkan.
Setelah itu, aku akan jatuh bersamanya dan mengobati lukanya.

Tidak bisakah aku melihat orang lain yang jauh lebih takut untuk kehilanganku?
Setidaknya, supaya aku melihat bagaimana manisnya dipertahankan.

Tidak bisakah aku melihat bagaimana orang lain jauh lebih mementingkan aku dibandingkan perempuan lainnya?
Setidaknya, supaya aku juga tahu bagaimana rasanya diprioritaskan.
Egois memang, tetapi bukankah semua perempuan ingin menjadi prioritas?

Namun, jauh sebelum aku tahu bagaimana rasanya mendapatkan itu semua. Aku sudah lebih dulu merasakan sakit dan pahitnya. Terus dan terus seperti itu, bahkan tak jarang yang aku rasakan menjadi semakin sakit pun pahit. Dan sampailah aku yang menjadi takut dan lelah untuk mencoba dan memulai kembali, mengundi apakah benar akan ada pelangi setelah hujan? Karena yang tersisa kini hanyalah sakit dan perih. Bahkan tak jarang aku merasakan yang teramat sakit, sampai untuk menitikkan air mata saja aku tak mampu lagi.

Jalan yang penuh lubang dibelakang sana, tak ingin aku perpanjang lagi. Tetapi bagaimana caranya untuk memperbaiki jalan di depan sana jika untuk melangkah, tidak, jika bahkan untuk bangkit dan berdiri saja rasanya aku sudah kehabisan seluruh tenaga yang aku punya?


Tidak Bisakah Aku?
Surakarta, 10 Februari 2018
22:16

Comments

Popular posts from this blog

Tanpa Judul, Hanya Mengumpat

Hujan Tigapuluh Oktober