Posts

Merindu Bogor

Merindu Bogor Bogor dahulu Tak pernah munafik atau cemburu Terlihat tulus bagai embun Yang rela sirna diantara rimbun Bogor dahulu Terasa hangat bagai pelukan ibu Terasa sejuk bagai air pereda haus Namun tetap gagah dan tangguh Bogor dahulu Izinkan aku mengadu Aku rindu caramu menjamu tamu Dengan alunan jangkrik pengantar tidur Bogor dahulu Tidakkah kau mengamuk Pada mereka yang semakin angkuh Melawanmu layaknya musuh Bogor yang tangguh Tatkala hujan sedang turun Apakah itu isi hatimu Yang tidak tahan melawan para angkuh Bogor yang gagah Tatkala terlihat petir membelah Apakah kau menunjukkan amarah Pada mereka pembuat masalah Diantara semilir angin Ramai orang mengucap ingin Untuk sekedar menghibur diri Daripada memaksa kembali Merindu Bogor tak seharusnya dilakukan Di bawah remangnya lampu jalan Di antara lebatnya tetes hujan Di waktu malam tiada bintang Bogor dahulu tak harus dirindukan Biar saja ...

Tidak Bisakah Aku?

Ketakutanku untuk membuka pintu masih menguasai pikiranku. Bagaimana sebuah bayangan  adegan perpisahan atau aku ditinggalkan yang entah mengapa terus menerus muncul saat aku baru saja hendak meraih gagang pintu. Sejujurnya, aku tak ingin jatuh dan terluka sendirian lagi dan lagi. Sudah terlalu banyak luka yang selalu aku obati sendiri dan entah mengapa tak ada satupun luka yang terasa membaik biarpun hanya sedikit. Semuanya masih terasa seakan luka itu baru saja muncul kemarin atau bahkan baru saja terjadi beberapa saat yang lalu. Hingga tak jarang saat aku sudah tak tahu harus mengobatinya dengan cara yang seperti apa lagi, aku mengobati luka yang telah bersarang dengan luka lain yang terasa lebih sakit, supaya aku dapat melupakan seperti apa rasanya luka yang telah lama itu. Tidak bisakah aku merasakan bahagia itu walaupun hanya untuk sesaat saja? Setidaknya, sampai satu dari sekian banyak luka yang ku punya menjadi hilang tanpa bekas. Tidak bisakah aku melihat orang lain ...

Tanpa Judul, Hanya Mengumpat

Aku membenci hujan yang turun hari ini. Tidak seperti hujan biasanya yang selalu bersahabat denganku walaupun terhalang jendela dan atap. Entah mengapa, hujan hari ini terasa lebih dingin dari hujan biasanya. Hujan hari ini punya cerita, walaupun sedih. Ceritanya begini, Pukul 1 dini hari ini, aku masih terjaga tanpa tahu kapan akan mengantuk. Aku sedang mencari jawaban perihal apa yang membuatku masih saja mampu membuka kelopak mataku saat badanku sudah merasa lelah juga pegal, –kafein kah? atau –rindu kah? Maka apabila memang benar kafein yang menjagaku untuk tidak tidur, aku akan mengutuk segelas kopi yang disajikan di angkringan saat makan malam. Tetapi apabila memang benar rindu yang menjagaku untuk tidak tidur, aku harus mengutuk siapa?             Dini hari tadi, aku menyadari bahwa rindu adalah kafein bagiku. Bahkan kafein dari segelas kopi di angkringan pun hanya mengucap permisi saja. Karena rindu tetap ta...

Hujan Tigapuluh Oktober

Aku tidak lagi melihat hujan sebagai hujan. Kau mengerti yang kumaksud, bukan? Aku melihat hujan seperti seorang kurir Yang menyampaikan pesan dari dalam hati Untukmu, yang dulu sempat mengisi hari. Aku tidak lagi melihat petir sebagai petir. Kau mengerti apa maksudnya kali ini? Aku melihat petir bagai isyarat rasa sakit Gambaran hati yang menahan rasa pedih Ditinggalkanmu, yang dulu selalu hadir. Lalu, apa kau tau mengapa saat ini hujan disertai petir? Mereka menyampaikan apa yang aku rasakan Saat kau pergi, tepat diperingatan satu bulan. Hujan mewakili perasaan rinduku Yang kerap malu untuk mengaku Bahwa aku masih inginkan dirimu. Petir menggambarkan suasana hatiku Yang saat ini sedang hancur lebur Dan tak mempan bila dihibur. Lalu, apa kesimpulan dari hujan hari ini? Hujan hari ini menyampaikan, bahwa perasaan rinduku akan tumpah apabila ia sudah tertekan dan akan berjatuhan tanpa tau arah. Lalu, apa kesimpulan dari petir yang kerap datang? Petir ...